Literasi di RA? Mengapa Tidak!
Dalam
upaya menunbuhkan budi pekerti siswa, pemerintah
melalui Kemdikbud ( Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ) mencanangkan sebuah gerakan yang disebut
Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan Literasi Sekolah ini dikembangkan berdasarkan
Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Tujuan
gerakan ini untuk membiasakan dan
memotivasi siswa agar mau membaca dan
menulis guna menumbuhkan budi pekerti,
serta agar siswa memiliki budaya
membaca dan menulis sehingga tercipta pembelajaran sepanjang hayat. Dalam
jangka panjang Gerakan Literasi Sekolah ini diharapkan anak-anak yang memiliki
kemampuan literasi tinggi. Kegiatan literasi ini tidak hanya sekedar membaca
saja, namun juga dilengkapi dengan kegiatan menulis yang harus dilandasi dengan
keterampilan atau kiat untuk mengubah, meringkas, memodifikasi, menceriterakan
kembali, dan sebagainya.
Diharapkan seluruh komponen sekolah
mulai dari guru, orang tua, dan peserta didik dapat mengoptimalkan peran
perpustakaan sedan membudayakan gemar membaca dan menulis baik dalam kegiatan
pembelajaran maupun di luar pembelajaran. “Tindak lanjutnya sekolah diwajibkan menyediakan waktu secara khusus
minimal selama 15 menit bagi siswa untuk membaca buku di luar buku pelajaran.
Pertanyaannya
sekarang, bisakah kita guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) khususnya guru Roudlotul
Athfal ( RA ) menggiatkan literasi di RA yang notabene adalah Anak-anak Usia
Dini dengan segala keunikannya?
Sebelum menggiatkan literasi di sekolah
ada baiknya jika guru RA mengetahui tahapan perkembangan kemampuan membaca pada
anak, agar guru bisa memberikan bacaan yang tepat bagi anak-anak RA
Membaca merupakan salah satu aspek
keterampilan berbahasa, juga merupakan komponen komunikasi tulisan. Dalam
komunikasi tulisan, lambang-lambang bunyi diubah menjadi lambang-lambang
tulisan, kemudian diubah menjadi lambang makna, dan prose perubahan inilah yang
dibina dan dikuasai pada taraf awal keterampilan membaca.
Mengajarkan membaca di RA dapat
dilaksanakan selama dalam batasan-batasan aturan pengembangan pra-akademik
serta berdasarkan pada prinsip dasar hakiki dari pendidikan RA sebagai sebuah
taman bermain, bersosialisasi, dan pengembangan pra-akademik yang substansial,
seperti kecerdasan emosi, motorik, disiplin/tanggung jawab, konsep diri, dan
akhlak.
Secara khusus perkembangan kemampuan
membaca pada anak berlangsung dalam 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
1.
Tahap Fantasi (
Magical Stage )
Pada tahap ini anak belajar menggunakan buku, mulai
berpikir bahwa buku itu penting, melihat atau membolak balikan buku dan
kadang-kadang membawa buku kesukaannya.
Pada tahap ini orang tua atau guru dapat memberikan atau
menunjukkan model/contoh tentang perlunya membaca, membacakan sesuatu pada anak,
membicarakan buku pada anak.
2.
Tahap Pembentukan
Konsep Diri ( Self Concept Stage )
Pada tahap ini anak beranggapan bahwa dirinya sebagai
pembaca, berpura-pura membaca buku, memberi makna pada gambar atau pengalaman
sebelumnya dengan buku, dan dapat menggunakan bahasa buku meskipun tidak cocok
dengan tulisannya.
Hendaknya orang tua atau guru memberikan stimulus atau
ransangan dengan jalan membacakan apa saja pada anak, seperti buku cerita,
tulisan pada kotak susu, bungkus makanan, pasta gigi, dan lain-lain. Selain itu
guru memberikan akses kepada anak-anak mengenai buku-buku yang mereka ketahui.
3.
Tahap Membaca Gambar (
Bridging Reading Stage )
Anak sudah dapat mengenali dan menemukan kata pada
tulisan/cetakan yang tampak, mengungkapkan kata-kata yang memiliki makna dengan
dirimya, mengulang kembali cerita yang tertulis dan dapat mengenal tulisan kata
dari puisi atau lagu serta sudah mengenal abjad.
Pada tahap ini orang tua atau guru membacakan sesuatu pada anak,
mengenalkan kosa kata baik dari lagu maupun puisi.
4.
Tahap Pengenalan
Bacaan ( Take-of reader Stage )
Pada tahap ke empat anak sudah mulai menggunakan tiga
sistem isyarat secara bersamaan, yaitu graphonik, sematik, dan syntaksis. Anak
mulai tertarik pada bacaan, mulai mengingat cetakan tulisan pada konteksnya,
berusaha mengenal tanda-tanda pada lingkungan serta membaca berbagai tanda
seperti pada kotak susu, botol minuman rinagn, bungkus makanan, dan lain-lain.
Orang tua dan guru tetap harus memberikan
stimulus/ransangan sehingga dapat menjadi motivasi bagi anak untuk selalu
membaca di berbagai situasi, namun satu hal yang harus diperhatikan, orang tua
dan guru tidak boleh memaksa anak untuk membaca huruf dengan sempurna.
5.
Tahap Membaca Lancar (
Independent Reader Stage )
Pada tahap akhir ini anak sudah dapat membaca berbagai
jenis buku yang berbeda secara bebas, menyusun pengertian dari tanda,
pengalaman, dan isyarat yang dikenalnya, dapat membuat perkiraan bahan-bahan
bacaan, dan bahan yang berhubungan secara langsung dengan pengalaman akan mudah
dibaca oleh anak.
Pada tahap ini orang tua dan guru masih tetap membacakan
berbagai jenis buku pada anak, hal ini dapat mendorong anak agar dapat
memperbaiki bacaannya. Selain itu orang tua dan guru dapat membantu menyeleksi
bacaan yang sesuai.
Huruf dan
kata merupakan sesuatu yang abstrak bagi anak-anak, sehingga untuk
mengenalkannya guru harus membuatnya menjadi nyata dengan cara mengasosiasikan
pada hal-hal yang mudah diingat oleh anak. Pertama kali mengenalkan huruf
biasanya guru memusatkan hanya pada huruf awal suatu kata yang sudah dikenal
anak. Agar tidak timbul kesan “
pemaksaan membaca “pada anak maka harus dilakukan melalui kegiatan yang
menyenangkan.
Banyak
cara untuk lebih meningkatkan pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, dan sikap
amak. Salah satunya adalah melalui bacaan. Untuk itu di setiap RA perlu
disediakan perpustakaan yang menyediakan buku-buku cerita bergambar, majalah
anak-anak yang menarik sehingga dapat mendorong anak-anak RA untuk
bereksplorasi secara maksimal. Dengan adanya perpustakaan di RA kita akan
merasakan manfaatnya sebagai berikut:
1.
Untuk anak yang belum
bisa membaca, bisa mendorong agar anak mempunyai kemampuan dan berkeinginan untuk
belajar membaca.
2.
Anak yang telah
memiliki kemampuan dasar tentang membaca akan sangat berguna untuk dapat
membaca secara sempurna
3.
Secara umum sebagian
kebutuhan anak RA akan terlayani sesuai dengan tingkat perkembangannya.
4.
Adanya perpustakaan di
RA akan memungkinkan guru RA dapat meningkatkan kemampiannya dalam kegiatan
belajar mengajar.
Perpustakaan di RA bukan hanya sebagai pintu masuk anak
pada ilmu pengetahuan dan teknologi, namun yang lebih penting adalah filosofi
dibalik pengadaan perpustakaan itu sendiri. Kini sumber belajar anak bukan
hanya guru, tetapi buku juga menjadi sumber belajar bagi mereka. Tidak dapat
dipungkiri perpustakaan sangat berperan dalam menumbuh kembangkan literasi anak
usia dini, khususnya anak RA.
Demikianlah bapak dan ibu guru, pertanyaan kita sebelumnya
terjawab sudah. Dengan menggalakkan perpustakaan di lembaga RA, maka guru RA siap
untuk berpartisipasi melaksanakan program Gerakan Literasi Sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar